loading...

iklan

EKSISTENSI KEUCHIK SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN DI GAMPONG


Gampong dalam konteks Qanun No. 5 Tahun 2003 merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan (terendah), mempunyai pimpinan pemerintahan dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Sebagai kesatuan masyarakat hukum dan merupakan bagian dari struktur pemerintahan,gampong memiliki hak dan kekuasaan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dalam lingkungannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gampong mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan syariat Islam.
Implementasi baik dari UUPA maupun Qanun No. 5 Tahun 2003 menjadi sangat penting untuk mengaktifkan kembali berbagai lembaga adat yang sangat diperlukan untuk terus ada dan menjadi lembaga pemutus dalam setiap penyelesaian sengketa. Di dalam Pasal 12 huruf f Qanun No. 5 Tahun 2003 ditegaskan bahwa: "Keuchik bertugas menjadi hakim perdamaian antar penduduk dalam gampong". Hal ini juga sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) huruf k (dan penjelasan) Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat yang menyatakan bahwa Keuchikbertugas menjadi pendamai (hakim perdamaian) terhadap perselisihan antar penduduk. Adapun isi Pasal 15 ayat (1) huruf k adalah “Menjadi pendamai terhadap perselisihan antar penduduk dalam gampong.” Sedangkan penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf k tersebut, dijelaskan bahwa: “Yang dimaksud pendamai adalah seseorang yang berfungsi sebagai hakim perdamaian dalam hal terjadinya sengketa/ perselisihan.
Tatanan kehidupan sosial masyarakat Aceh, berada dalam suatu komunitas kehidupan di gampong-gampong (desa). Kehidupan demikian telah membentuk ikatan kehidupan masyarakat yang sangat homogen, dalam suatu wilayah teritorial, kedaulatan serta menguasai kekayaan sumber alam bersama dan memiliki pemerintahan sendiri dengan segala tatanan hukum yang bersumberkan pada lembaga adat dengan segala perangkat dan materi-materi hukumnya. Perangkat gampong yang terdiri dari Keuchik, Sekretaris GampongImeum MeunasahTuha Peuet Gampong dan ulama atau tokoh adat/cendikiawan lainnya merupakan perangkat paripurna sebagai alat pemerintahan gampong.
Pemerintah gampong ini sangat berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong. Dalam pemerintahan gampong tersebut keuchik berperan untuk mengasuh anggota komunitasnya mengenai masalah-masalah adat, masalah-masalah sosial, dan pada masa terakhir mengatur administrasi pemerintahan tingkat desa (gampong). Mengenai tugasKeuchik juga diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008. Adapun tugas Keuchik tersebut adalah:

a.     Membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syari’at Islam dalam masyarakat;


b.     Menjaga dan memelihara adat dan adat istiadat yang hidup dan berkembang  

       dalam   masyarakat;


c.     Memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong;

d.     Menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam membangun 
        gampong;

e.     Membina dan memajukan perekonomian masyarakat;

f.      Memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;

g.     Memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya 
        perbuatan maksiat dalam masyarakat;

h.     Mengajukan rancangan qanun gampong kepada Tuha Peut Gampong atau nama 
        lain untuk mendapatkan persetujuan;

i.      Mengajukan rancangan anggaran pendapatan belanja gampong kepada tuha peut 
        gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan;

j.      Memimpin dan menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; dan

k.     Menjadi pendamai terhadap perselisihan antar penduduk dalam gampong.

Masyarakat hukum adat bersifat komunal, bermakna bahwa setiap individu ‘wajib’ menjunjung tinggi hak sosial dalam masyarakat. Sikap dan prilaku seseorang merupakan cerminan jiwa dan semangat masyarakat. Akan tetapi, terkadang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam berkehidupan sosial akan selalu ada perselisihan pendapat yang bisa menimbulkan sengketa, yang bisa terjadi antar pribadi maupun antar kelompok. Dengan lahirnya UUPA telah membawa dampak positif terhadap pengembangan dan penguatan lembaga adat di Aceh. Dalam Pasal 98 ayat (2) dan (3) UUPA dijelaskan bahwa "penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat".
Dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, diatur secara tegas dalam bab tersendiri mengenai jenis-jenis sengketa/perselisihan adat yang dapat diselesaikan melalui lembaga adat. Dalam Pasal 13 ayat (1) qanun tersebut, diatur bahwa setidaknya terdapat 18 (delapan belas) jenis sengketa/perselisihan adat yang dapat diselesaikan melalui lembaga adat, yaitu:
a.     perselisihan dalam rumah tangga;
b.     sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c.     perselisihan antar warga;
d.     khalwat meusum;
e.     perselisihan tentang hak milik;
f.      pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g.     perselisihan harta sehareukat;
h.     pencurian ringan;
i.      pencurian ternak peliharaan;
j.      pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k.     persengketaan di laut;
l.      persengketaan di pasar;
m.    penganiayaan ringan;
n.     pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
o.     pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p.     pencemaran lingkungan (skala ringan);
q.     ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r.      perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

Pada umumnya, sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan pada tingkat gampong dilaksanakan di Meunasah Gampong (atau nama lain). Sedangkan pada tingkat Mukim, sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Mesjid.
Peran Keuchik selaku eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan gampong dan Tuha Peuet selaku legislatif  yang menetapkan reusam gampong  dan juga kedua lembaga ini juga berperan penting dalam mewujudkan perdamaian di gampong. Jadi, peran lembaga adat sebagai peradilan menjadi sangat penting untuk menyelesaikan berbagai hal sehingga terhindar dari sengketa yang besar.
Pasal 16 ayat (1) Qanun No. 9 Tahun 2008 menyebutkan kriteria sanksi yang diterima pelanggar adat berdasarkan putusan peradilan adatgampong yaitu: nasehat, teguran, pernyataan maaf, sayamdiyat, denda, ganti kerugian, dikucilkan dari masyarakat, dikeluarkan darigampong, pencabutan gelar adat, dan sanksi lainnya disesuaikan dengan hukum adat setempat. 

No comments:

Post a Comment

PropellerAds

AdsBLT

Pedoman Pelayanan

desa blang teumulek